Syaikh ‘Abdul Qoodir bin
‘Abdul ‘Aziiz
i'daad
PENGERTIAN DAN STATUS KEDUANYA
DALAM SYARAT JIHAD
Sebuah
Bantahan Terhadap Syubhat Yang Mengatakan Bahwa;
Tidak
Ada Jihad Kecuali Setelah Sempurnanya Tarbiyah Imaniyah
Pengertian dan status keduanya
dalam syarat Jihad
(Sebuah
bantahan terhadap syubhat; tidak ada
jihad kecuali setelah sempurnanya tarbiyah
imaniyah).
Disini
kita akan membahas permasalahan-permasalahan berikut;
Pertama;
apakah yang dimaksud I’dad lil jihad
(Persiapan Jihad)?
Kedua;
apakah Al ‘Adaalah merupakan syarat wajibnya jihad?
Pertama; Apakah yang dimaksud dengan I’dad
lil Jihad?
Yang
dimaksud dengan I’dad ada dua; yaitu I’dad
Maddi (persiapan materi) dan I’dad
imani (persiapan iman), dan tidak boleh membatasi I’dad dengan salah
satunya. Adapun yang dimaksud dengan I’dad maddi adalah yang disebutkan dalam surat Al Anfaal, Alloh
berfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَ عَدُوَّكُمْ
وَأَخَرِيْنَ مِنْ دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمْ اللهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا
تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ
تُظْلَمُونَ
“Dan siapkanlah
untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda
yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Alloh, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya, sedang Alloh mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada
jalan Alloh niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya (dirugikan)”. (QS. Al Anfaal : 60)
Dan
penafsiran ayat ini telah disebutkan dalam sebuah hadits marfu’ sehingga tidak menyisakan tempat untuk
mentakwilkannya atau membawa pengertian ayat tersebut kepada pengertian yang
tidak dimaksudkan oleh ayat tersebut. Imam Muslim telah meriwayatkan sebuah
hadits dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, dia berkata bahwasannya Rosululloh SAW ,
membaca ayat ini kemudian bersabda:
ألا إن القوة الرمي
“Ingatlah
bahwasannya kekuatan itu adalah melempar (memanah)”. Beliau mengucapkannya tiga
kali.
Oleh
karena itu tidak boleh membawa pengertian ayat ini kepada pengertian I’dad
imani dan tarbiyah. Dan I’dad maddi mencakup mempersiapkan orang, senjata dan
harta. Dan ayat tersebut diatas menyebutkan dengan jelas persenjataan dan
harta, dan menyebutkan orang secara isyarat. Namun mempersiapkan orang ini
terdapat dalam ayat-ayat lain. Seperti firman Alloh :
يَأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى
الْقِتَالِ
“Hai Nabi,
hasunglah orang-orang mu’min untuk berperang” (QS. Al Anfaal : 65)
Dan juga
firman Alloh :
فَقَاتِلْ فِي سَبِيْلِ اللهِ لاَ تُكَلَّفُ إِلاَّ
نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَسَى اللهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِيْنَ
كَفَرُوا
“Maka
berperanglah kamu pada jalan Alloh, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan
kewajiban kamu sendiri. Dan hasunglah orang-orang mu’min (untuk berperang).
Mudah-mudahan Alloh menolak serangan
orang-orang yang kafir itu”. (QS. An Nisaa’ : 84)
Dan
juga firman Alloh :
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوا كُونُوا أَنْصَارُ
اللهِ
“Wahai
orang-orang yang beriman jadilah kalian sebagai pembela-pembela Alloh”. (QS.
Ash Shaff : 14)
Dan
permasalahan ini telah dibahas secara terperinci dalam bab dua, dan Ibnu
Taimiyyah berkata bahwasannya jika kewajiban jihad itu gugur karena ketidak
mampuan maka wajib mempersiapkan kekuatan dan kuda yang ditambatkan. (Majmuu’
Fataawaa, XXVIII / 259) Dan Alloh menjadikan I’dad ini sebagai pertanda
benarnya keimanan dan sebagai pembeda antara orang beriman dengan orang
munafiq, dalam firmanNya :
وَلَوْ أَرَدُوا الْخُرُوجَ لَأَعَدُّوا لَهُ عُدَّةً
وَلَكِنْ كَرِهَ اللهُ انْبِعَثَاهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيْلَ اقْعُدُوا مَعَ
الْقَاعِدِيْنَ لَوْ خَرَجُوا فِيْكُمْ مَازَادُوكُمْ إِلاَّ خَبَالاَ
وَلَأَوْضَعُوا خِلاَ لَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيْكُمْ سَمَّاعُونَ
لَهُمْ
“Dan jika
mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan
itu, tetapi Alloh tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Alloh melemahkan
keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka:”TinggAlloh kamu bersama
orang-orang yang tinggal itu”. Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya
mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka
bergegas-gegas maju ke muka dicelah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan
diantaramu, sedang diantara kamu ada yang amat suka mendengarkan perkataan
mereka”. (QS. At Taubah : 46-47)
Dalam
ayat ini Alloh menjelaskan bahwa orang munafiq yang meninggalkan I’dad itu
sebelumnya secara taqdir Alloh telah mentelantarkannya. Dan sesungguhnya hal
ini adalah merupakan rahmat dari Alloh kepada orang-orang yang benar-benar
beriman, seandainya mereka ikut keluar bersama mereka, pasti orang-orang
munafiq itu hanya membuat kerusakan dan
fitnah. Apalagi ada sebagian orang-orang beriman yang berbaik sangka kepada
orang-orang munafiq itu.
وَفِيْكُمْ سَمَّاعُونَ لَهُمْ
“Dan diantara
kalian ada yang mendengar-dengarkan mereka”
Dan
disinilah timbul kerusakan yang besar. Inilah yang berkaitan dengan I’dad
secara materi.
Adapun I’dad imani (tarbiyah) bukan bagian dari
I’dad maddi (materi). Dan
dalil-dalilnya telah disebutkan dalam pasal ini juga sehingga tidak perlu untuk
diulang lagi. Dan I’dad Imani ini
banyak sekali cabangnya, sebanyak cabang iman, baik lahir maupun batin, baik
secara ilmu maupun secara amal, I’dad
Imani juga mempunyai peran secara
langsung dalam menyebabkan kemenangan atau kekalahan, sebagaimana telah saya
sebutkan dalam lima prinsip dasar penyebab kemenangan dan kekalahan. Namun ada
beberapa hal yang perlu dijaga dalam hal-hal yang berkaitan dengan I’dad, yaitu
:
-
Jangan
sampai ayat I’dad dalam surat
Al Anfaal ini dibawa kedalam pengertian tarbiyah, karena telah ada hadits
marfu’ yang menafsirkan ayat tersebut sehingga membantah pentakwilan tersebut.
Adapun tentang tarbiyah ada dalil-dalil lainnya yang telah dijelaskan didepan.
Dan yang lebih parah lagi adalah orang yang membatasi I’dad hanya dengan I’dad imani saja tanpa I’dad maaddiy (materi). Orang semacam
itu adalah orang yang mendustakan ayat-ayat Alloh.
-
Tarbiyah
ini jangan menjadi alasan untuk tidak berjihad, khususnya jihad yang fardlu
‘ain. Inilah yang sangat penting untuk dijaga dalam kaitannya dengan tarbiyah.
Dan inilah yang mendorong kami untuk membahas sisi kedua dalam catatan ini.
Kedua
: Apakah Al ‘Adaalah itu merupakan syarat wajibnya Jihad?
Maka kepada orang-orang yang
mengatakan kami tidak berjihad sampai kami menyelesaikan tarbiyyah
iimaaniyyah, kami bertanya dengan dua pertanyaan ;
Pertanyaan
pertama : Apakah target dari tarbiyyah itu menghantarkan seorang muslim kepada
tingkatan Al ‘Adaalah Asy Syar’iyyah,
atau kepada tingkatan yang lebih tinggi dari pada itu?
Pertanyaan kedua : Apakah Al
‘Adaalah itu merupakan syarat wajib jihad? Yang berarti seorang muslim
tidak boleh berjihad sampai dia mencapai derajat Al ‘Adaalah? Dan apakah
kewajiban jihad itu akan gugur dari orang fasiq?
Pertama
kami akan menyebutkan definisi Al ‘Adaalah, kami katakan: Al ‘Adaalah
adalah kemapanan seseorang pada diinnya, dan ada yang mengatakan; bahwa Al
‘Adaalah adalah orang yang tidak nampak padanya hal-hal yang meragukan. Dan
dalam hal ini yang menjadi indikasi ada dua :
1. Baik dalam mengamalkan Islam, yaitu melaksanakan
sholat-sholat wajib dengan sunnah rowatibnya, menjauhi perbuatan haram dengan
cara tidak melakukan perbuatan dosa besar dan tidak terus terusan berbuat dosa
kecil.
2. Menjaga kesopanan dengan melakukan perbuatan yang
memperindah dirinya dan meninggalkan perbuatan yang menghinakan dan memperburuk
dirinya. (manarus Sabiil Syarhud Dalil, cet. Al Maktab Al Islami, 1404 H,
II/387-388).
Kemudian kami akan menyebutkan syarat-syarat wajibnya
jihad --- dan telah berlalu pembahasan ini dalam lampiran sebelumnya --- yaitu
(Islam, baligh, berakal, laki-laki, tidak cacat, merdeka, punya biaya, ijin
orang tua dan ijin orang yang menghutangi), (Al Mughniy Ma’asy Syarhil
Kabiir X/366,381-384). Dan ini adalah ketika jihad fardhu kifayah, adapun
jika jihad itu fadlu ‘ain, maka syaratnya adalah satu sampai lima saja. Dan sebagaimana anda lihat bahwa Al
‘Adaalah tidak termasuk syarat jihad.
Kalau Al
‘Adaalah itu jelas bukan merupakan syarat wajibnya jihad, maka gugurlah
pendapat orang yang mengatakan harus diadakan tarbiyyah yang menghantarkan
seorang muslim kepada tingkatan Al ‘Adaalah sebelum dia berjihad. Dan
selanjutnya gugurlah pendapat orang yang mensyaratkan harus mencapai tingkatan
lebih tinggi dari pada Al ‘Adaalah. Bahkan para ‘ulama menyatakan yang
sebaliknya, artinya boleh meminta bantuan orang fasik dan munafik dalam
berperang. Asy Syaukaaniy berkata:”Dalam kitab Al Bahr dikatakan: Dan
diperbolehkan meminta bantuan kepada orang munafiq berdasarkan ijma’ karena
Nabi meminta bantuan kepada Abdullah bin Ubay dan teman-temannya. Dan juga
diperbolehkan meminta bantuan kepada orang fasiq untuk melawan orang kafir
berdasarkan ijma’, dan menurut kami juga untuk melawan bughot (pemberontak)
karena ‘Aliy ra, meminta bantuan kepada Asy’ats” (Nailul Authoor
VIII/44).
Dan
dalam kitab Al Majmuu’ disebutkan :”Abu Bakar Al Jashosh berkata
dalam Ahkamul Qur’an; jihad itu wajib dilaksanakan meskipun bersama dengan
orang-orang fasiq, sebagaimana wajibnya berjihad bersama orang-orang yang sudah
sampai tingkatan Al ‘Adaalah. Dan seluruh ayat yang mewajibkan jihad
tidak membedakan antara dikerjakan bersama orang-orang fasiq dan antara
dikerjakan bersama orang-orang shalih. dan juga karena sesungguhnya orang-orang
fasiq itu jika mereka berjihad berarti dia dalam hal ini melaksanakan ketaatan
(kepada Alloh)”. (Al Majmuu’ Syarhul Muhadz-dzab, XIX/279).
Dan Ibnu Hazm berkata --- setelah
menyebutkan hadits yang berbunyi :
إِنَّ اللهَ يَنْصُرُ هَذَا الدِّيْنَ بِقَوْمٍ لاَ
خَلاَقَ لَهُمْ
“Sesungguhnya
Alloh benar-benar memperkuat agama ini dengan orang-orang yang tidak
mendapatkan apa-apa”
Dan Hadits yang berbunyi :
إِنَّ اللهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّيْنَ بِالرَّجُلِ
اْلفَاجِرِ
“Sesungguhnya
Alloh memperkuat agama ini dengan orang yang fajir”
Beliau berkata: ”Hadits ini
memperbolehkan meminta bantuan kepada ahlul harbi (musuh) untuk menghadapi
orang yang semacam dengan mereka, dan juga kepada orang Islam yang fajir
(banyak berbuat dosa) yang tidak mempunyai pahala sedikitpun untuk menghadapi
ahlul baghyi (pemberontak), selain itu karena orang-orang fasiq itu juga
terkena kewajiban jihad dan kewajiban melawan ahlul baghyi (pemberontak),
sebagaimana kewajiban orang yang baik. Oleh karena itu tidak boleh melarang
mereka untuk melaksanakan kewajiban itu. Bahkan seharusnya mereka diajak untuk
melaksanakan kewajiban tersebut”. (Al Muhallaaa XI/113-114).
Dan permasalahan ini secara
terperinci telah dibahas (pada bab tiga), pada pembahasan berperang bersama
pemimpin yang fajir. Jika berperang bersama orang yang fajir yang menjadi
pemimpin saja diperbolehkan apalagi berperang bersama orang fajir yang menjadi
pasukan.
Dan Ibnu Taimiyyah telah
menjelaskan dengan secara panjang lebar tentang masalah ini, yang telah saya
nukil dalam (bab ketiga), yaitu beliau berkata;”Jika mereka bersepakat untuk
memerangi orang-orang kafir dengan cara yang sempurna, maka inilah pelaksanaan
yang maksimal dalam rangka mencari ridlo Alloh, memuliakan kalimatNya, dan
mentaati RosulNya. Meskipun diantara mereka ada yang banyak dosanya dan ada
yang rusak niatnya, ia berperang ingin mendapatkan kepemimpinan atau ingin
mendapat beberapa kepercayaan, Namun meninggalkan perang melawan orang-orang
kafir itu kerusakannya terhadap agama lebih besar dari pada berperang melawan
mereka tapi bersama orang-orang fasiq. Dan kita wajib memerangi mereka dengan
tujuan untuk menolak kerusakan yang lebih besar dengan menanggung kerusakan
yang lebih kecil. Dan ini merupakan pokok ajaran Islam yang harus senantiasa
dijaga.
Oleh karena itu termasuk dari
pokok-pokok aqidah ahlus sunnah adalah berperang baik bersama orang yang baik
maupun bersama orang yang fajir. Karena sesungguhnya Alloh akan menolong agama
ini dengan orang yang fajir, dan dengan orang yang tidak mempunyai bagian
(pahala). Sebagaimana hal itu telah diberitakan oleh Nabi SAW, karena jika
perang itu tidak bisa dilaksanakan kecuali bersama para pemimpin yang fajir
atau bersama pasukan yang banyak dosanya, pasti akan ada dua kemungkinan,
Pertama, tidak berjihad bersama
pemimpin yang fajir sehingga musuh akan menguasai sedangkan kerusakan yang
mereka timbulkan terhadap agama dan dunia itu lebih berbahaya.
Atau, yang kedua, tetap berperang,
namun bersama pemimpin yang fajir, sehingga dengan itu tertolaklah dosa yang
paling besar (antara kekafiran dan kemaksiatan-pent) dan dapat menegakkan
banyak dari syari’at Islam, meskipun tidak bisa melaksanakan seluruhnya. Dan
begitulah seharusnya yang ditempuh (berperang bersama pemimpin yang fajir)
ketika dalam keadaan seperti ini (ketika jihad tidak bisa dilaksanakan kecuali
bersama pemimpin yang fajir) , dan juga pada kedaan-keadaan yang semacam dengan
ini. Bahkan kebanyakan peperangan yang terjadi setelah khulafa’ rosyidin
beginilah prakteknya --- sampai beliau mengatakan --- maka barangsiapa memahami
apa yang diperintahkan Nabi SAW, kepadanya yaitu jihad yang dilaksanakan oleh
para pemimpin sampai hari qiyamat, dan yang beliau larang yaitu membantu orang
dzalim untuk berbuat dzalim, niscaya dia memahami bahwa jalan yang paling utama
yang merupakan ajaran Islam adalah berjihad melawan orang yang berhak untuk
diperangi, seperti orang-orang kafir itu, bersama pemimpin dan kelompok yang
lebih dekat kepada Islam dari pada orang-orang kafir itu, jika jihad itu tidak
mungkin dilakukan kecuali dengan cara seperti ini. Dan menjauhi perbuatan yang
membantu kemaksiatan kelompok fajir yang dia berjihad dengan mereka itu, bahkan
mentaati mereka dalam hal-hal yang merupakan ketaatan kepada Alloh dan tidak
mentaati mereka untuk bermaksiat kepada Alloh, karena tidak boleh taat kepada
makhluq untuk bermaksiat kepada kholiq.
Inilah jalan orang-orang yang
terbaik dari ummat ini, baik zaman dahulu maupun zaman sekarang. Dan ini
merupakan kewajiban bagi setiap mukallaf. Dan ini adalah jalan pertengahan
antara jalannya haruriyyah (Khowaarij) dan orang-orang yang semacam
mereka, yaitu orang yang menempuh jalan waro’ (kehati-hatian)yang rusak,
yang timbul dari sedikitnya ilmu, dan antara jalannya Murji-ah dan orang-orang
yang semacam mereka, yaitu orang-orang yang menempuh jalan ketaatan kepada
pemimpin secara mutlaq, meskipun mereka itu bukanlah orang-orang yang baik”. (Majmuu’
Fataawaa XVIII / 505-508).
Saya katakan: masalah ini telah
menjadi ketetapan sehingga permasalahan ini ditulis dalam masalah-masalah
aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, sebagaimana yang telah saya nukil dari syarhul
‘Aqidah ath Thohawiyyah, yang disana disebutkan: ”Haji dan jihad itu senantiasa
berjalan bersama pemimpin kaum muslimin, baik yang sholih maupun yang fajir
sampai hari qiyamat. Dan keduanya tidak akan digugurkan oleh sesuatu apapun”. (Syarhul
‘Aqiidah Ath Thohaawiyyah, cet. Al Maktab Al Islaamiy 1403, hal. 437).
Dari pembahasan diatas anda dapat
melihat bahwa jihad bersama orang fasiq, baik dia sebagai pemimpin atau anggota
diperbolehkan berdasarkan ijma’. Dan kadang hal itu diwajibkan jika orang kafir
itu tidak mungkin dilawan kecuali dengan berjihad bersama orang-orang fasiq,
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah diatas.
Dan yang menjadi pokok permasalahan
disini, adalah bahwasannya jihad itu diwajibkan kepada orang-orang yang
beriman, sebagaimana firman Alloh :
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ
عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ.تُؤْمِنُونَ بِاللهِ
وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيْلِ اللهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ
ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
وَيُدخِلْكُمْ جَنَّاتٍ
“Hai
orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang
dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih?, Yaitu kamu beriman kepada Alloh
dan RosulNya dan berjihad dijalan Alloh dengan harta dan jiwamu, itulah yang
lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Alloh akan mengampuni
dosa-dosamu dan memasukkan kamu kedalam jannah yang mengalir dibawahnya
sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di jannah”. (QS.
Ash Shoff : 10-12)
Dan ayat-ayat yang lain. Ayat ini merupakan perintah
kepada orang-orang beriman untuk berjihad, dan diantara orang-orang beriman itu
ada yang mempunyai dosa-dosa.
يَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ
“…niscaya
Alloh mengampuni dosa-dosa kalian”
Ayat ini menunjukkan bahwa kewajiban
jihad itu tidak gugur dari orang mukmin yang melakukan dosa, sedangkan orang
fasiq meskipun besar dosanya, dia tetap masih beriman. Sesungguhnya dia masih
mempunyai mutlaqul iimaan (batas
terendah keimanan) yang menjadikan dia terkena beban kewajiban syari’at,
meskipun dia tidak memiliki al iimaan al
mutlaq (iman yang sempurna). Dan diantara aqidah ahlus sunnah wal jama’ah,
bahwa ketaatan dan kemaksiatan itu dapat berkumpul pada seorang hamba,
pemahaman ini disimpulkan dari kaidah umum yang menyatakan bahwa iman itu
adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan
kemaksiatan --- pembahasan masalah ini telah berlalu --- dan diantara contohnya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhooriy dari ‘Umar ra,
أن رجلا كان على عهد النبي صلى الله عليه و سلم وكان
اسمه عبد الله وكان يلقب حمارا وكان يُضحكُ رسول الله صلى الله عليه و سلم وكان
رسول الله صلى الله عليه و سلم قد جلده في الشراب فأتى به يوما فأمربه فجُلِد فقال
رجل من القوم اللهم العنه ! ما أكثر ما يؤتى به! فقال رسول الله صلى الله عليه و
سلم : لاَ تَلْعَنْهُ فَوَاللهِ مَا عَلِمْتَ إِنَّهُ يُحِّبُ اللهَ وَرَسُولَهُ
“Pada zaman
Nabi ada seseorang yang bernama Abdullah, yang mendapat julukan himar. Orang
ini membikin tertawa Rosululloh SAW, dan Rosululloh SAW pernah mencambuknya
lantaran minum khamr. Pada suatu hari ia didatangkan lalu dia diperintahkan
untuk dicambuk. Lalu ada orang yang mengatakan:”Ya Alloh, laknatlah dia. Telah
berkali-kali dicambuk”. Maka Rosululloh bersabda :”Janganlah kamu melaknatnya,
demi Alloh kamu tidak mengetahui bahwa dia mencintai Alloh dan RosulNya”,
Sahabat ini meskipun dia bermaksiat dengan minum khamr
namun dia masih memiliki ketaatan seperti mencintai Alloh dan RosulNya SAW,
sedangkan kecintaan ini adalah termasuk cabang iman yang paling besar. Dan
perhatikanlah kedudukan cinta ini dalam ayat mengenai penolakan delapan alasan
dalam surat At
Taubah :
قُلْ إِنْ كَانَ أَبَاؤُكُمْ....
“Katakanlah
: jika bapak-bapak kalian…”
Kemudian sesungguhnya orang-orang yang bermaksiat itu
mendapatkan manfaat tersendiri dalam
jihad, yaitu untuk menghapuskan dosa-dosanya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu
Taimiyyah, setelah membacakan ayat dalam surat Ash Shoff diatas:”Dan barangsiapa yang
banyak dosanya, maka obat yang paling manjur baginya adalah jihad. Karena
sesungguhnya Alloh akan mengampuni dosa-dosanya. Sebagaimana yang Alloh beritahukan
dalam firmanNya :
يَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ
“…niscaya
Alloh akan mengampuni dosa kalian”
Juga barangsiapa yang tidak bisa bertaubat dan
membebaskan diri dari barang yang haram lantaran tidak mampu mengembalikan
barang tersebut kepada yang berhak, maka hendaknya dia infaqkan barang tersebut
dijalan Alloh, kerena hal itu merupakan jalan yang baik untuk membebaskan diri
dari barang haram tersebut, selain itu dia mendapatkan pahala jihad”. (Majmuu’
Fataawaa , XXVIII / 421-422)
Dari penjelasan diatas dapat
difahami bahwasannya kefasikan itu tidak menggugurkan kewajiban jihad. Orang
fasik itu diperintahkan untuk berjihad persis sebagaimana orang shalih. Dan
telah dinukil diatas perkataan Asy
Syaukaaniy yang menyatakan bolehnya --- dan tidak wajib --- meminta bantuan
kepada orang fasiq dan munafiq berdasarkan ijma’. Maka jika hal ini dapat
diterima, yang dijadikan patokan hukum adalah untung dan rugi yang
ditimbulkannya, mana yang lebih besar. Artinya jika manfaat keikut sertaannya
dalam berjihad lebih besar dari pada kerusakannya, dia diperbolehkan ikut. Dan
jika sebaliknya maka tidak boleh.
Termasuk dalam hal ini adalah apa
yang dikatakan oleh Ibnu Qudaamah: ”Dan seorang pemimpin tidak boleh
membawa seorang mukhodzil yaitu
orang yang melemahkan semangat manusia dalam peperangan…dan juga tidak boleh
membawa seorang murjif yaitu orang yang mengatakan; Telah hancur
pasukan kaum muslimin dan tidak ada bantuan juga tidak ada kekuatan bagi mereka
untuk menghadapi orang-orang kafir…dan juga tidak boleh membawa orang yang
memata-matai kaum muslimin untuk orang-orang kafir…dan juga tidak boleh membawa
orang yang menimbulkan permusuhan ditengah-tengah kaum muslimin dan menebar
kerusakan.” (Al Mughniy Ma’asy Syarhil Kabiir, X / 372 dan perkataan
semacam ini juga terdapat dalam kitab Al Majmuu’ Syarhul Muhadz-dzab,
XIX / 278-280).
Semuanya ini berdasarkan firman Alloh
:
لَوْ خَرَجُوا
فِيْكُمْ مَازَادُوكُمْ إِلاَّ خَبَالاَ وَلَأَوْضَعُوا خِلاَ لَكُمْ
يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيْكُمْ سَمَّاعُونَ لَهُمْ
“Jika
mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain
dari kerusakan belaka, dan tentu mereka bergegas-gegas maju kemuka di
celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan diantaramu, sedang diantara
kamu ada yang amat suka mendengarkan perkataan mereka” (QS.
At Taubah : 47)
Dan
firman Alloh ;
فَإِنْ رَجَعَكَ اللهُ إِلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ
فَاسْتَأْذَنُوكَ لِلْخُرُوجَ فَقُلْ لَنْ تَخْرُجُوا مَعِي أَبَدًا وَلَنْ
تُقَاتِلُوا مَعِي عَدُوًّا إِنَّكُمْ رَضِيْتُمْ بِالْقُعُوْدِ أَوَّلَ مَرَّةٍ
فَاقْعُدُوا مَعَ الْخَالِفِيْنَ
“Maka jika Alloh
mengembalikanmu pada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka meminta izin
kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka katakanlah:”Kamu tidak boleh
keluar bersama-samaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku.
Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena
itu duduklah (tinggAlloh) bersama orang-orang yang tidak ikut berperang” (QS.
At Taubah : 83)
Kesimpulannya adalah orang yang melemahkan semangat atau
menebar kerusakan dalam barisan atau berkhianat dilarang untuk ikut berjihad.
Karena orang semacam ini besar bahayanya meskipun ada manfaatnya.
Namun meskipun pemimpin itu boleh
mengijinkan orang fasiq yang bermaksiat --- yang manfaatnya lebih besar dari
pada kerusakannya --- untuk ikut berjihad, hal ini tidak berarti pemimpin itu
boleh membiarkannya dalam kefasikan dan maksiat.
Akan tetapi ia harus beramar ma’ruf dengan cara memberi pengajaran dan nasehat,
dan melakukan nahi munkar dengan cara memarahi dan menghukum. Inilah
yang disebut sebagai pelaksanaan tarbiyyah iimaaniyyah ketika
pelaksanaan jihad. Dan kita tidak mengatakan, kita undur jihad sampai selesai tarbiyyah
iimaaniyyah. Karena tarbiyah semacam ini tidak ada habisnya kecuali dengan
kematian. Sebagaimana firman Alloh ;
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ
“Dan
beribadahlah kamu kepada Rabbmu sampai datang kepadamu “keyakinan” (QS.
Al Hijr : 99)
Keyakinan artinya adalah kematian, sebagaimana disebutkan
didalam tafsir. Dan kadang ajal itu datang sedangkan orang belum mendapatkan
tarbiyah kecuali sedikit. Alloh berfirman :
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا
مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُم ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ
سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللّهِ
“Kemudian kitab
itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami,
lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan diantara
mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu
berbuat kebaikan dengan izin Alloh” (QS. Al Fathir : 32)
Inilah tingkatan-tingkatan keimanan para pengikut Rosul
dan para pewaris kitab.
Dari pembahasan diatas dapat saya
ringkaskan sebagai berikut :
1. I’dad
imani (tarbiyah) adalah kewajiban dan
merupakan penopang yang mendasar diantara penopang-penopang kemenangan. Dan
telah berlalu uraian masalah ini, khususnya pada dampak kemaksiatan dalam
menyebabkan kekalahan. Dan sesungguhnya kemaksiatan sebagian orang akan
membahayakan semuanya jika mereka tidak mengingkarinya. Dan inilah keadaan yang
paling ideal jika bisa direalisasikan.
2. Namun demikian kami katakan jihad itu tidak boleh diundur
dengan alasan I’dad imani --- meskipun jihad kadang boleh diundur dengan alasan
untuk persiapan secara materi / fisik ketika dalam keadaan lemah --- khususnya
ketika jihad hukumnya fardhu ‘ain dan lebih khusus lagi dalam jihad yang
hukumnya fardhu ‘ain adalah ketika musuh menduduki wilayah kaum muslimin. Dan inilah kondisi
kebanyakan negara kaum muslimin saat sekarang. Dalam kondisi seperti ini jihad
hukumnya fardhu ‘ain dan mudloyyaqul
waqti (tidak bisa diundur-undur). Dan mengundur-undurkan jihad yang
hukumnya fardhu ‘ain seperti ini akan mengakibatkan bahaya dan kerusakan.
Bencana apakah yang lebih besar dari pada berkuasanya orang-orang kafir
dinegara-negara kaum muslimin dan memaksakan kepada kaum muslimin untuk
mengikuti hukum-hukum kafir dan berusaha untuk merusak kaum muslimin dan
merusak agama mereka dengan berbagai sarana makar. Maka barangsiapa berpendapat
untuk mengundur jihad sampai selesai mentarbiyah orang yang ingin berjihad,
orang yang berpendapat seperti ini tidak memahami bahwa sarana penghancur
jumlahnya berlipat ganda dibandingkan sarana untuk membangun.
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى
يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا
“Mereka
tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu
dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup” (QS. Al Baqarah : 217)
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَرَى
حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
“Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama
mereka” (QS. Al Baqarah : 120)
Dan
juga tidak memahami bahwasannya orang-orang kafir tidak akan menyisakan satupun
sarana tarbiyah yang baik. Alloh berfirman :
وَلَوْلاَ دَفَعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضُهُمْ بِبَعْضٍ
لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبَيْعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ
اللهِ كَثِيْرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ
عَزِيْزٌ
“Dan sekiranya Alloh
tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah
telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang
Yahudi dan Masjid-masjid, yang didalamnya banyak disebut nama Alloh.
Sesungguhnya Alloh pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Alloh
benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. Al Hajj : 40)
Seandainya Alloh tidak menahan orang-orang kafir dengan
para mujahidin pasti tidak akan tersisa satupun tempat yang layak untuk
beribadah kepada Alloh. Oleh karena itu Ibnul Qoyyim menggambarkan keadaan
mujahidin dengan mengatakan: ”Mereka telah mengerahkan jiwa mereka untuk cinta
mereka kepada Alloh, membela agamaNya, menegakkan kalimatNya, dan melawan
musuh-musuhNya. Dan mereka itu bersekutu dengan setiap orang yang membela Alloh
dengan menggunakan pedang-pedang mereka dalam amalan-amalan yang mereka
kerjakan meskipun mereka tidur didalam rumah mereka. Dan mereka mendapatkan
pahala orang yang bisa beribadah
lantaran jihad mereka dan kemenangan yang mereka raih, karena merekalah yang
menjadi faktor penyebab. Dan Alloh yang membuat syari’at, memberikan pahala dan
dosa kepada orang yang menjadi faktor penyebab sebuah amalan sebagaimana orang
yang mengamalkan amalan tersebut. Oleh
karena itu orang yang mengajak kepada kebenaran dan orang yang mengajak kepada
kesesatan masing-masing mendapatkan pahala dan dosa sebagaimana orang yang
mengikutinya” (Thoriiqul Hijrotain, cet. Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 1403
H. hal.355)
3. Jika kekuatan fisik kaum muslimin telah mencapai batas
kemampuan yang disebutkan dalam ayat :
وَأَعِدُّوا
لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Dan
persiapkanlah untuk menghadapi mereka semampu kalian”
dan
dia yakin akan dapat meraih kemenangan, maka dia wajib untuk memulai jihad. Dan
jihad tidak diundur dengan alasan untuk menyempurnakan I’dad imani. Dengan demikian
ketika tidak mampu melaksanakan jihad, maka dua bentuk I’dad itu baik secara
materi maupun secara iman harus diusahakan, maka barangsiapa yang berusaha
untuk melakukan I’dad imani namun dia meninggalkan I’dad maddi atau
mengundurnya, maka dia berdosa karena meninggalkan kewajibannya tersebut dalam
ayat :
وَأَعِدُّوا
لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
“Dan
persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian mampu”
4. I’dad imani harus dilakukan sepanjang tahapan sejak
sebelum dimulainya jihad dan ketika dilaksanakan jihad. Sebagaimana yang telah
saya sebutkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu merupakan ciri yang senantiasa
menyertai kaum muslimin baik sebelum berkuasa maupun setelah berkuasa. Dan
sebaik-baik sarana tarbiyah adalah tarbiyah yang dilakukan ketika
berlangsungnya jihad. Karena manusia dalam keadaan seperti ini, biasanya lebih
dekat kepada Alloh. Sebagaimana Rosul senantiasa memberikan pengarahan kepada
para sahabatnya ketika mereka sedang melaksanakan jihad. Dan tidak ada
seorangpun yang mengatakan kita undur jihad sampai selesai tarbiyah.
Diantaranya adalah sabda Nabi SAW,
أَللَّهُمَّ إِنِّى أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ
خَالِدٌ بنِ اْلوَلِيْدَ
“Ya Alloh aku
berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh kholid” hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy
Dan
juga sabda Beliau kepada ekspedisi yang dipimpin oleh Abdullah bin Hudzaifah :
لَوْدَخَلُوْهَا مَاخَرَجُوا مِنْهَا أَبَدًا إِنَّمَا
الطَّاعَةُ فِي اْلمَعْرُوْفِ
“Jika mereka
masuk kedalam api tersebut, mereka tidak akan keluar selamanya. Sesungguhnya
ketaatan itu hanya pada perbuatan yang ma’ruf” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy)
Dan
sabda beliau kepada Usaamah bin Zaid :
أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ
“Apakah kamu
membunuhnya setelah dia mengucapkan laa ilaaha illAlloh?” (Hadits ini Muttafaq ‘Alaih)
Dan
juga sabda Beliau kepada Abu Dzar :
إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيْكَ جَاهِلِيَّةٌ
“Kamu adalah
orang yang padamu terdapat jahiliyyah” (Hadits
ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy)
Dan
juga sabda Beliau pada suatu peperangan :
إِنَّ اللهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّيْنَ بِالرَّجُلِ
اْلفَاجِرِ
“Sesungguhnya
Alloh benar-benar menolong agama ini dengan orang yang fajir” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy)
Begitu
pula peristiwa haditsul ifki yang
terjadi setelah suatu pertempuran. Rosululloh
melaksanakan hukuman had penuduh berzina kepada orang yang menyebar luaskan
fitnah itu. Diantara mereka ada orang yang pernah ikut perang Badar yaitu Misthoh
bin Utsaatsah dan diantara mereka ada seorang juru sya’ir Nabi yaitu Hassan
bin Tsabit (lihat Fat-hul Baariy, VIII / 378-379). Oleh karena itu bisa
jadi orang yang sempurna, mulia dan disaksikan masuk surga, namun dia melakukan
dosa-dosa besar sebagaimana Misthoh bin Utsatsah dan Haathib bin Abi
Balta’ah ra, Rosululloh SAW bersabda tentang Haathib :
أَوَ لَيْسَ
مِنْ أَهْلِ بَدْرٍ ؟ وَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّ اللهَ اَطْلَعَ عَلَى عَلَيْهِمْ
فَقَالَ : اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ
أَوْجَبَتْ لَكُمُ اْلجَنَّةَ
“Bukankah
dia ikut perang Badar? Apakah kamu tidak tahu, bisa jadi Alloh telah melihat
kepada mereka kemudian mengatakan kepada mereka:”Berbuatlah semau kalian, Aku
telah wajibkan kalian masuk surga” (Hadits
ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy, no. 6936).
Ibnu
Hajar berkata: ”Sesungguhnya seorang
mukmin itu meskipun dia sampai derajat kesholihan dan dipastikan dia masuk
surga, dia tidak dijamin untuk tidak terjerumus kepada perbuatan dosa, karena Haathib
termasuk orang yang diwajibkan oleh Alloh untuk masuk surga namun dia melakukan
perbuatan sebagaimana yang telah dia lakukan”. (Fat-hul Baariy, XII/ 310).
Dan contoh dalam masalah ini banyak. Maka tarbiyah iman itu dilakukan ketika
berperang, dan jihad tidak ditunda dengan alasan tarbiyah. Tarbiyah itu ---
sebagaimana yang lalu --- tidak berhenti kecuali setelah mati. Dan Alloh SWT,
membolak-balik hati sesuai dengan kehendakNya.
5. Al ‘Adaalah
bukanlah syarat wajibnya jihad. Orang fasiq boleh ikut berjihad jika manfaatnya
untuk berjihad lebih besar dari pada kerusakan yang ditimbulkan. Sebagaimana
telah diperinci didepan. Dan orang yang menimbulkan kerusakan dan berkhianat
dilarang untuk ikut berjihad.
6. Sesungguhnya bukanlah merupakan aib bagi kaum muslimin
adanya orang-orang yang bermaksiat didalam barisannya. Akan tetapi yang menjadi
aib adalah membiarkan mereka berbuat maksiat dan tidak mengarahkan mereka untuk
mentaati perintah dan larangan Alloh. Karena kesalahan dan kemaksiatan itu
tidak akan pernah terpisah dari manusia. Rosululloh pun pernah melaksanakan
hukuman had bagi pezina, pemfitnah zina, peminum khomer, pencuri, hiroobah
(perampok) pada masa hidup beliau. Dan orang-orang munafiq dahulu ikut keluar
berperang sebagaimana yang telah kami sebutkan diawal kitab. Namun demikian
tidak seorangpun yang mengatakan kami tidak akan berjihad selama dalam barisan
kami ada orang-orang yang bermaksiat dan munafiq. Padahal Rosululloh SAW
bersabda :
لاَ يَأْتِي عَلَيْكُمْ يَوْمٌ إِلاَّ وَالَّذِي
بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ
“Tidaklah
datang suatu haripun kepada kalian kecuali setelahnya pasti lebih jelek dari
pada sebelumnya” (Hadits ini
diriwayatkan oleh Al Bukhooriy dari Anas)
Intinya
adalah jika ada beberapa orang yang bermaksiat pada sebuah kelompok yang
berjihad yang tegak melaksanakan perintah Alloh, sesungguhnya hal ini bukanlah
alasan untuk tidak berjihad bersama mereka.
7. Jika tidak terdapat kelompok seperti diatas (yaitu
kelompok baik yang didalamnya terdapat beberapa orang yang bermaksiat) sehingga
jihad tidak mungkin dilaksanakan kecuali bersama pemimpin yang fajir atau
bersama pasukan yang banyak melakukan dosa, maka wajib berjihad bersama mereka ---
sebagaimana kata Ibnu Taimiyyah --- untuk menolak salah satu dari dua
kerusakan yang lebih besar --- yaitu kerusakan orang-orang kafir --- dan inilah
taqwa kepada Alloh sesuai dengan kemampuan yang disebutkan dalam ayat :
فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka
bertaqwalah kalian sesuai dengan kemampuan kalian” (QS.
At Taghabun : 16)
Sesungguhnya
tidak ada kerusakan yang lebih besar dari pada berkuasanya orang-orang kafir di
negara-negara kaum muslimin, dan hal-hal yang ditimbulkannya, yaitu kemurtadan
yang dipaksakan kepada kaum muslimin secara umum kecuali orang yang dirahmati Alloh,
sesungguhnya Alloh itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Alloh berfirman :
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى
يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ
دِيْنِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي
الدُّنْيَا وَالأَخِرَةِ وَ أُلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُونَ
“Dan
mereka tiada henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan
kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa
yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka
mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah
penghuni naar, mereka kekal didalamnya” (QS. Al Baqarah : 217)
Maka
seorang muslim boleh berperang bersama pemimpin yang fajir atau pasukan yang
banyak dosa, karena dalam hal ini ia membantu mereka untuk kebaikan dan taqwa
dan tidak membantu untuk berbuat dosa dan permusuhan, ia mentaati mereka untuk
ketaatan kepada Alloh dan tidak mentaati dalam perbuatan maksiat, dan ia
berusaha keras untuk menasehati mereka, supaya Alloh memperbaiki mereka. Dan
pada kesempatan yang lain Ibnu Taimiyyah berkata: ”Jika kewajiban
seperti menuntut ilmu, jihad, dan yang lainnya tidak bisa dilaksanakan kecuali
dengan orang yang berbuat bid’ah yang bahayanya lebih kecil daripada bahaya
meninggalkan kewajiban tersebut, maka harus diraih kemaslahatan dengan
melaksanakan kewajiban tersebut meskipun harus dengan menanggung kerusakan yang
lebih ringan, hal itu lebih baik dari pada sebaliknya. Oleh karena itu
pembahasan dalam masalah ini haruslah diperinci.” (Majmuu’ Fataawaa,
XXVIII / 212)
Asy Syatibi berkata: ”Dan begitu juga
jihad bersama para pemimpin yang dzalim, para ‘ulama membolehkannya.” Maalik
berkata: ”Jihad itu jika ditinggalkan pasti akan menimbulkan bahaya
terhadap kaum muslimin. Jihad itu permasalahan darurat, dan keberadaan pemimpin
dalam jihad itu juga darurat. Sedangkan Al ‘Adaalah itu adalah
penyempurna sesuatu yang darurat itu. Dan sesuatu yang menjadi penyempurna itu
jika ketidak adaannya mengakibatkan tidak adanya hal yang mendasar maka penyempurna
itu tidak diperhitungkan lagi.” (Al Muwaafaqoot, II / 15)
Dan Muhamad Ibnu Hazm mempunyai
perkataan keras terhadap orang yang melarang jihad melawan orang-orang kafir
bersama pemimpin yang fajir. Beliau berkata: ”Tidak ada dosa yang lebih besar
setelah kekafiran selain dosa orang yang melarang berjihad melawan orang-orang
kafir dan memerintahkan untuk menyerahkan wanita-wanita kaum muslimin kepada
orang-orang kafir tersebut dengan alasan kefasikan seorang muslim, padahal
kefasikannya itu tidak akan ditanggung oleh orang lain” (Al Muhallaa,
VII / 300)
Saya katakan : dan dalam bab Tiga telah
saya jelaskan bahwa seorang amir fajir yang dipebolehkan berperang bersamanya ---
jika tidak ada yang lain --- adalah orang yang kefajirannya hanya berdampak pada
dirinya sendiri dan dibawah tingkat kekafiran.
Dari pembahasan diatas wahai
saudaraku muslim, dapat kita fahami bahwa orang yang mengatakan ”kami tidak
akan berjihad sebelum kami belajar ilmu syar’i dahulu, atau sebelum kami
menyelesaikan tarbiyah imaniyah dahulu, atau mengharuskan setiap muslim untuk
melakukan hal ini”, pendapat ini mengakibatkan musnahnya agama Islam. Dan
sebagaimana yang saya katakan dalam bantahan saya terhadap syubhat Syaikh Al
AlBani, bahwa menuntut ilmu dan tarbiyah itu adalah benar, dan kami mengajak
manusia untuk melaksanakan keduanya, namun harus diperhatikan
ketentuan-ketentuan berikut :
A. Sesungguhnya belajar dan tarbiyah itu bukanlah syarat
wajibnya jihad. Artinya, kita tidak boleh melarang berjihad orang yang belum
mempelajari diinnya dan belum membersihkan jiwanya. Kecuali ilmu yang hukumnya
fardlu ‘ain yang khusus masalah jihad, seperti ilmu tentang disyari’atkannya
jihad dan memahami kelompok apa yang ia perjuangkan.
B. Sesungguhnya jalan keluar dari kehinaan yang menimpa
kehidupan kaum muslimin ini adalah jihad, sebagaimana disebutkan dalam sebuah
hadits marfu’ dari Tsauban :
يُوشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمُ الأُمَمُ...
“Hampir tiba
saatnya kalian dikeroyok oleh berbagai bangsa…”
Dan
Hadits marfuu’ dari Ibnu ‘Umar :
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ...
“Jika
kalian saling berjual beli dengan cara ‘iinah…”
Kedua
hadits ini telah disebutkan didepan. Dan kami berpendapat bahwa jihad ini
merupakan kewajiban mayoritas kaum muslimin khususnya adalah jihad melawan
pemerintah yang murtad. Oleh karena itu kami berpendapat bahwa belajar dan
tarbiyah itu adalah bagian dari I’dad untuk berjihad, untuk membentuk satu
kelompok mujahid yang berilmu dan beragama, dan kami tidak menganggap belajar
dan tarbiyah itu sebagai jalan penyelesaian masalah tanpa jihad, sebagaimana
telah berlalu dalam bantahan terhadap syubhat Syaikh Al Albani.
(Diterjemahkan dari kitab Al Umdah fii I’daadil ‘Uddah lil Jihaadi fii Sabiilillah, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz,
hal.583-597)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar