wasiat
Syaikh Abû ‘Umar As-Saif
(Mufti Mujahidin Cechnya) tanggal 29 Ramadhan 1424 H
Segala puji
hanya milik Alloh robbul ‘Âlamîn, semoga sholawat dan salam tetap
tercurah kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga serta seluruh shahabatnya. Ammâ
ba‘d…
Sesungguhnya
tegak serta menangnya dîn ini adalah dengan adanya kitab pemberi petunjuk dan
pedang sebagai pembela. Sebagaimana firman Alloh ta‘âlâ:
{ لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا
بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ
النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ
لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ
اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ سورة الحديد:25
“Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka
mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)
Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Hadîd: 25)
Dan inilah
jalan yang dilalui para shahabat radhiyallôhu ‘anhum di mana mereka
berpegang teguh dengan Kitâbullôh dan Jihad fi Sabîlillâh, akhirnya mereka
berhasil meraih kemenangan (kekuasaan/ tamkîn) yang sempurna di muka bumi
dikarenakan keimanan mereka yang sempurna serta amal shaleh yang mereka
kerjakan. Alloh ta‘âlâ berfirman,
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا
مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا
اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي
ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا سورة النور: 55
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam
ketakutan menjadi aman sentausa.” (QS. An-Nûr :
55)
Di kala generasi setelah mereka mulai berkurang dalam
menegakkan apa yang Alloh wajibkan kepada mereka berupa berpegang teguh kepada
Kitabullôh dan Jihad, berkurang pulalah kekuasaan mereka, sebanding dengan
berkurangnya sikap berpegang teguh mereka kepada terhadap Kitabullôh dan Jihad
Fî Sabîlillâh. Di antara indikasi yang melemahkan kondisi ummat serta
menjadikannya cacat dari sifat Thô’ifah Manshûroh serta menjadikan ilmu
dan jihad menjadi bagian yang terpilah adalah : Minimnya penuntut ilmu yang
berangkat ke medan Jihad, padahal Rosulullôh Shollallôhu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda,
( لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ
مِنْ أُمَّتِيْ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ )
الحديث رواه مسلم كتاب
الإيمان: 395.
“Akan selalu ada sekelompok dari umatku yang berperang di atas
kebenaran, mereka akan selalu menang hingga (menjelang) hari kiamat.” (HR. Muslim Kitab Al Iman: 395)
Sehingga, hampir tidak ada panji jihad yang dikibarkan di sebuah negeri, melainkan engkau lihat di sana para
mujahidin berlomba menuju bumi jihad, mereka ingin terbunuh dan mencari mati di
tempat yang menjadi persangkaan mereka. Namun, engkau tidak akan melihat di
antara mereka dari kalangan para penuntut ilmu yang mau menegakkan kewajiban fardhu kifâyah berupa mengajari kaum
muslimin di bumi jihad serta mengarahkan mereka dan menyerukan kepada umat akan
kondisi mereka. Bahkan, sebagian mereka yang menisbatkan dirinya kepada ilmu
tak hentinya melakukan dosa qu’ûd (duduk tidak berangkat berjihad,
penerj.) serta tidak mau menghentikan sikap itu. Mereka justru mengendorkan
semangat kaum muslimin dari berjihad, menahan mereka dari membela para
mujahidin dan menyebarkan berbagai isu melemahkan serta menakut-nakuti mereka
akan musuh.
Kondisi
umat islam yang mulai bangkit berjihad serta kembali aktualnya kewajiban ini,
merupakan sebuah kesempatan bagi para penuntut ilmu yang jujur untuk mulai
berhijrah, berjihad fî sabîlillâh, mengarahkan ummat serta berusaha untuk
menegakkan din Alloh di muka bumi. Alloh ta’âlâ berfirman,
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً
سورة
النساء : 100
“Barangsiapa
berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat
hijrah yang luas dan rezki yang banyak...” (QS. An-Nisâ’: 100)
Di sini,
Alloh memberikan dorongan untuk berhijrah di jalan-Nya dengan menerangkan bahwa
seorang Muhâjir akan mendapatkan tempat yang akan menampungnya dan
menjadikan musuh-musuh Alloh ta‘âlâ
marah,
serta mendapatkan kelapangan dalam arti semua bentuk kelapangan. Bisa bermakna
kemantaban moril dan adanya solusi; seperti kelapangan dalam hidayah, dakwah
dan berjihad di Jalan Alloh serta kelapangan rezeki, kelapangan ketika
menghadapi kesedihan dan kesulitan di saat berdekatan dengan musuh-musuh Alloh
yang dzalim, kelapangan ketika harus tinggal di bawah kekuasaan mereka serta
ketidak mampuan dalam menegakkan kalimat tauhid dan memberlakukan syari‘at
Alloh di bawah kekuasaan mereka. Kelapangan untuk memisahkan diri dari
tandingan-tandingan Alloh dan para thoghut dari kalangan mereka yang telah
murtad serta dari segala undang-undang positif yang berlaku di negeri tersebut.
Kelapangan dari sempitnya kelemahan, kehinaan dan kemiskinan di bawah
kungkungan hukum dan kedzaliman para thoghut menuju kepada kehidupan penuh Izzah,
kekuatan, jihad serta Tamkîn (kekuasaan) di muka bumi.
Selanjutnya,
para ulama adalah pewaris para nabi; sebagaimana mereka adalah orang yang
paling tahu akan warisan nubuwwah, sudah seharusnya mereka mengemban
risalah tersebut sebagaimana para nabi dahulu juga mengembannya, berjihad dalam
rangka membelanya serta sabar menanggung kepedihan yang bakal menimpa mereka
ketika menyampaikan risalah tersebut. Mereka
juga harus mengarahkan umat untuk berjihad melawan musuh.
Orang berilmu yang jujur memiliki beberapa
karakteristik yang membedakan mereka dari ulama jahat. Yang pertama adalah
ketika seorang alim mengamalkan ilmunya, kata-katanya sesuai dengan
perbuatannya; sebab seorang hamba itu ~sebagaimana dikhabarkan Nabi Shollallôhu
‘Alaihi wa Sallam~ tidak akan bergeser kedua kakinya pada hari kiamat
sampai ia ditanya mengenai empat hal : Tentang umurnya, untuk apa ia habiskan.
Tentang masa mudanya, untuk apa ia usangkan. Tentang hartanya, dari mana ia
peroleh dan dia belanjakkan untuk apa. Dan tentang ilmunya, apa yang ia perbuat
dengannya.
Surat Al-Fâtihah berisi petunjuk (hidayah) menuju
ilmu sekaligus amal, di mana itulah Shirôthol Mustaqîm (jalan lurus)
yang ditempuh oleh para Nabi, para shiddîqîn, syuhada dan sholihin. Bukan jalan
yang ditempuh golongan yang dimurkai di mana mereka berilmu namun tidak
beramal, seperti kaum yahudi serta ulama kaum muslimin yang fasik. Bukan pula
jalan orang-orang sesat di mana mereka beramal tanpa dasar ilmu yang benar,
seperti kaum nashrani serta ahli ibadah dari ummat ini yang sesat. Sufyân bin
‘Uyainah rohimahullôh berkata,
(
من فسد من علمائنا كان فيه شبه من اليهود ومن فسد من عبادنا كان فيه شبه من
النصارى )
“Kalau ada yang rusak
dari ulama kita, maka ia mirip dengan orang yahudi. Dan jika ada yang rusak
dari ahli ibadah kita, berarti ada kemiripan dengan orang nashrani.”
Dua sifat ini
Alloh kumpulkan di dalam kitab-Nya pada firman Alloh ta‘âlâ,
{
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ
لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ } سورة التوبة : 34
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani
benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-taubah :
34)
Jadi, hidayah
itu bisa diraih dengan ilmu sekaligus amal serta menyambut nasehat, sebagaimana
firman Alloh Tabâroka wa ta‘âlâ:
{ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ
بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا(66) وَإِذًا لَآتَيْنَاهُمْ
مِنْ لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًا(67) وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا(68)
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ
وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا(69) سورة النساء:66-69
“Dan
sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka,
tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan
(iman mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang
besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.
Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu:
Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang
saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS.
An-Nisâ : 66-69)
Maka siapa di antara mereka yang merasa telah
tergabung dalam dunia ilmu merasa diri menjadi salah satu pengikut Salaful
Ummah sementara ia menyembunyikan kebenaran serta duduk dari berjihad dan
menghalangi dari jalan Alloh hanya lantaran kehidupan dunia, berarti ia dusta
dalam pengakuannya tersebut, bahkan ialah orang yang paling mirip dengan ulama
yahudi; kaum yang termurkai, di mana Alloh ta‘âlâ berfirman tentang mereka :
{
وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ(41)وَلَا
تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ(42)وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ
الرَّاكِعِينَ(43)أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ
وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ(44) سورة
البقرة: 41-44
“…dan janganlah kamu menukarkan
ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus
bertakwa Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan
janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. Dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku. Mengapa
kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri
(kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah
kamu berpikir?” (QS.
Al-Baqoroh : 41-44)
Di dalam Shohîhain,
Rasululloh Shollallôhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
( يؤتى بالرجل يوم القيامة فيلقى في النار فتندلق اقتاب بطنه فيدور
بها كما يدور الحمار في الرحى فيجتمع اليه اهل النار فيقولون يا فلان ما لك ؟ ألم
تك تأمر بالمعروف وتنهى عن المنكر ؟ فيقول : بلى ، قد كنت آمر بالمعروف ولا آتيه
وأنهى عن المنكر وآتيه ) ،
“Akan didatangkan
seorang lelaki pada hari kiamat, ia dilemparkan ke dalam neraka, lantas
terburailah usus perutnya, lalu ia berputar-putar di sana persis seperti
keledai yang berputar pada alat penggilingan. Para penduduk nerakapun berkumpul
mendekati dia, mereka bertanya, ‘Hai fulan, ada apa dengan dirimu? Bukankah
dulu engkau memerintahkan kepada yang makruf dan mencegah yang munkar?’ ia
menjawab, ‘Benar, aku dulu memerintahkan yang makruf tapi aku tidak
mengerjakannya dan aku melarang yang mungkar sementara aku justru
mengerjakannya.’ ”
Alloh ta‘âlâ
menyamakan orang yang mengemban ilmu namun tidak mengamalkannya serta orang
yang mengerti ayat-ayat Alloh namun ia justru berlepas diri darinya mirip
dengan keledai yang membawa kitab-kitab namun ia tidak bisa mengambil manfaat
darinya, juga dengan anjing yang ia selalu menjulurkan lidahnya kepada dunia
dan kepada kesesatan yang ia hidup di dalamnya pada semua keadaan, tak ada
bedanya; apakah ia diberi nasehat dengan ayat-ayat yang engkau ajarkan
kepadanya, atau dengan yang lain, atau tidak diberi nasehat. Ia telah condong
dan miring ke bumi secara keseluruhan, ia telah menjadi pengikut syetan dan
hawa nafsu yang menjadi titian dan jalan yang ia tempuh. Alloh ta‘âlâ berfirman,
{ مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ
لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا }
“Perumpamaan
orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya
adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” (QS.
Al-Jumu‘ah: 5)
Alloh tabâroka
wa ta’âlâ juga berfirman,
{ وَاتْلُ
عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا
فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ(175)وَلَوْ شِئْنَا
لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ
كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ
ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ
لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ(176)
سورة
الأعراف: 175-176
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang
yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al
Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti
oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang
sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa
nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya
diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya
(juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al-A‘rôf
: 175-176)
Al-Qurtuby rahimahullôh
ta‘âlâ ketika menafsirkan ayat ini menyebutkan, bahwa permisalan ini
bersifat umum bagi siapapun yang diberi Al-Qur‘an namun ia tidak
mengamalkannya.
Adapun sifat
kedua dari penuntut ilmu adalah menjelaskan ilmu kepada manusia serta berterus
terang menyuarakan kebenaran. Alloh ta‘âlâ
berfirman:
{
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ
بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ
وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ ( سورة
البقرة: 159)
“Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dila`nati (pula)
oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.” (QS. Al-Baqoroh : 159)
Maka siapa di antara mereka yang
menisbatkan diri kepada ilmu yang menyembunyikannya, ia bukanlah ulama yang
dimintakan ampun oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan di dalam air. Tidak
pula termasuk dalam nash-nash syar’i yang memuji para ulama serta menyebutkan
pahala mereka. Tapi ia justru termasuk orang-orang yang dilaknat Alloh dan
semua makhluk yang bisa melaknat.
Yang
menjadikan para penuntut ilmu itu menyembunyikan kebenaran tak lain adalah rasa
takut dia kepada para penguasa, siksaan serta media informasi yang mereka
miliki. Sebab lain adalah karena ia mencari keridhoan serta kedudukan di sisi
para penguasa tersebut, juga ambisi dia untuk mendapatkan dunia beserta
perhiasannya. Alloh Tabâroka wa Ta’âlâ berfirman:
{ وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ
وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُون َ(
سورة آل عمران :187).
“ Dan (ingatlah), ketika Allah
mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu):
"Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu
menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung
mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran
yang mereka terima.” (QS. Âli ‘Imrôn : 187)
Alloh ta’âlâ juga berfirman :
{
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا
الْأَدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا وَإِنْ يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مِثْلُهُ
يَأْخُذُوهُ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَقُولُوا
عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ وَدَرَسُوا مَا فِيهِ وَالدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ
لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (سورة الأعراف: 169)
“
Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat)
yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan
berkata: "Kami akan diberi ampun". Dan kelak jika datang kepada
mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya
(juga). Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa
mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, padahal mereka
telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?. Dan kampung akhirat itu lebih
baik bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti?” (QS. Al-A‘rôf: 169)
Mereka mempelajari ilmu dari para ulama atau di madrasah-madrasah atau
di tempat lain, sebagaimana firman Alloh ta’âlâ :
وَدَرَسُوا مَا فِيهِ
Sayangnya,
mereka mempelajari ilmu itu sebatas belajar saja. Tidak ada tidak disertai
adanya keyakinan yang menancap ataupun iman yang kokoh; mereka tidak menerima
ilmu itu seperti halnya para shahabat radhiyallôhu ‘anhum menerimanya di
mana merekalah yang telah memikul ilmu serta bersabar dalam menyampaikannya dan
berjihad melawan musuh-musuhnya. Imâm Ibnul Qoyyim rahimahullôh berkata,
“Siapa saja dari ahlul ilmi yang memprioritaskan serta lebih menyukai dunia,
pasti akan mengatakan kepada Alloh tanpa dasar kebenaran ketika ia berfatwa, di
dalam memberikan hukum dan keputusan dari berita yang ia terima. Sebab hukum
Alloh Subhânahû wa Ta‘âlâ banyak sekali yang datang tidak
bersesuaian dengan keinginan-keinginan manusia, terutama para pemimpin serta
mereka yang memperturutkan syahwat. Mereka ini tidak akan bisa mencapai
keinginannya dengan sempurna melainkan dengan menyelisihi kebenaran serta
menolak sebagian besarnya. Maka, jika seorang alim dan penguasa mencintai
kepemimpinan serta memperturutkan syahwatnya, tentu itu tidak akan dicapai
dengan sempurna melainkan dengan menolak hal yang menjadi kebalikannya berupa
kebenaran. Lebih lebih ketika ada sesuatu yang masih syubhat, lantas syubhat
itu berbenturan dengan syahwatnya atau menyerang hawanafsunya, ia pasti akan
menyembunyikan kebenaran serta akan lenyaplah sisi kebenaran itu. Jika
kebenaran itu sudah jelas dan tidak lagi tersembunyi dan samar, ia akan
memberanikan diri untuk menyelisihinya seraya mengatakan, ‘Masih ada jalan
keluar untuk bertaubat bagiku.’
Mengenai orang seperti mereka serta yang semisal, Alloh ta‘âlâ
berfirman:
{
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ}
“Maka
datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya.. ” (QS. Maryam : 59)
Alloh ta‘âlâ juga berfirman:
{ فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا
الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا الْأَدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا
وَإِنْ يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مِثْلُهُ يَأْخُذُوهُ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ
مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ وَدَرَسُوا
مَا فِيهِ وَالدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا
تَعْقِلُونَ(169) }
Di sini,
Alloh subhânahû ta’âlâ memberitahukan bahwa mereka mengambil harta benda dunia yang rendah ini padahal
mereka tahu keharamannya sembari mengatakan, ‘Kami akan diampuni.’ Jika disodorkan kepada mereka harta benda dunia yang lain,
mereka akan kembali mengambilnya. Jadi, mereka terus menerus melakukan hal
itu.” Selesai perkataan beliau.
Makanya, ilmu bukan hanya dalam menghafal matan-matan
serta dengan studi berbagai disiplin ilmu, tetapi inti permasalahan supaya ilmu
tersebut bermanfaat adalah kesucian serta ketakwaan dari wadah yang dijadikan
tempat untuk menerima ilmu (yaitu hati, penerj.). Jika hati itu suci, ilmu akan
bermanfaat dengan izin Alloh, kaum musliminpun akan mengambil manfaat dari ilmu
ini. Lain halnya ketika hati yang meneriman ilmu itu adalah hati munafik, atau
hati yang sedang sakit, maka pemiliknya pasti akan menyembunyikan kebenaran
serta membuat-buat kedustaan atas nama Alloh dan memalingkan dari jalan-Nya. Ia
akan menjadikan fatwa dan perkataannya sebagai tutup syar’i bagi pemerintah
yang berfungsi untuk membenarkan kejahatannya terhadap hak islam dan kaum
muslimin.
Adapun sifat ketiga seorang penuntut ilmu adalah takwa dan takut kepada
Alloh ta’âlâ. Alloh tabâroka wa ta‘âlâ berfirman:
{
أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ ءَانَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ
الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ
وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ سورة
الزمر: 9
“(Apakah kamu
hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di
waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab)
akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar :
9) Alloh ta’âlâ juga berfirman :
{ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ } سورة
الزمر:28
“Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama...” (QS. Az-Zumar : 28)
Di
antara indikasi seorang alim benar-benar takut kepada Alloh ta’âlâ adalah ia
berterus terang dalam menyampaikan kebenaran serta menerangkan ilmu kepada
manusia dan memberikan nasehat kepada umat, ia tidak takut celaan orang-orang
yang mencela dari kalangan orang nashrani dan orang-orang murtad maupun
orang-orang munafik, sebagaimana Alloh ta’âlâ berfirman:
{ الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ
وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ (39) سورة
الأحزاب: 39
“
(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah
Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun)
selain kepada Allah.” (QS. Al-Ahzâb : 39)
Indikasi lain takutnya orang alim kepada Alloh ta’âlâ adalah ia berjihad
di jalan Alloh, Alloh tabâroka wa ta‘âlâ berfirman:
{
أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ(13)قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ
وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ(14) سورة
التوبة :13-14
“Mengapakah
kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika
kamu benar-benar orang yang beriman. Perangilah mereka, niscaya Allah
akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan
menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati
orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah : 13-14)
Maka jika
seorang penuntut ilmu menyembunyikan kebenaran serta duduk dari jihad, baik
dengan nyawa dan harta maupun lisan di saat pasukan salib yang besar sedang
menyerang di negeri kaum muslimin, tidak
diragukan lagi bahwa orang yang menisbatkan diri kepada ilmu ini bukan termasuk
Ahlu `l-‘ilmi yang dipuji Alloh dalam kitab-Nya serta Ia sifati mereka dengan
kesempurnaan rasa khosyyah dan takut kepada-Nya.
Di sana
memang terdapat penghalang-penghalang yang menghalangi seorang penuntut ilmu
dari keluar pergi ke bumi jihad. Yang paling pertama adalah cinta serta condong
kepada dunia, sebagaimana Alloh Tabâroka wa Ta‘âlâ berfirman :
{
قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ
فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ(24) سورة التوبة
“Katakanlah: "Jika bapa-bapa,
anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang
kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
fasik.” (QS.
At-Taubah : 24)
Di antara
penghalang seorang hamba dari berangkat berjihad adalah delapan hal yang
merupakan sesuatu yang disukai, yaitu : Bapak, Anak-anak,
saudara-saudara, isteri, kerabat, harta yang ia usahakan, perniagaan yang ia
khawatirkan kerugiannya; termasuk di dalamnya pekerjaan yang ia khawatir akan
kehilangan, tempat tinggal yang ia sukai, yang ia cintai dan ia tumbuh di sana,
sehingga berat bagi jiwa untuk meninggalkan dan berjauhan darinya. Kedelapan
penghalang ini, tidak ada yang mau mengabaikannya dengan kemudian
berhijrah serta berjihad fî sabîlillâh
selain orang yang tulus kecintaannya kepada Alloh ta‘âlâ serta ia realisasikan
tauhid, secara ilmu maupun amal. Sebab, cinta dunia dan tidak suka kematian
inilah yang menggenjot semangat musuh dalam rangka mengeroyok umat dan kebaikan
yang dimilikinya. Sebagaimana sabda Rasululloh Shollallôhu ‘Alaihi wa Sallam
:
(
يوشك الامم ان تداعى عليكم كما تداعى الاكلة الى قصعتها فقال قائل و من قلة نحن
يومئذ ؟ قال بل انتم يومئذ كثير ولكنكم غثاء كغثاء السيل ولينزعن الله من صدور
عدوكم المهابة منكم وليقذفن الله في قلوبكم الوهن فقل قائل : يا رسول الله وما
الوهن ؟ قال : حب الدنيا وكراهية الموت ) أخرجه ابو داوود ، وفي رواية لأحمد :
حبكم الدنيا وكراهيتكم القتال .
“Hampir-hampir
kalian akan diperebutkan oleh ummat-ummat lain sebagaimana orang-orang yang
makan mengerumuni nampannya. Ada yang bertanya, “Apakah lantaran
kita sedikit kala itu?” beliau bersabda, “Bahkan kalian banyak ketika itu,
namun kalian adalah buih laksana buih air, dan Alloh benar-benar akan mencabut
rasa segan kepada kalian dari dada musuh-musuh kalian, dan Alloh benar-benar
akan melemparkan ke dalam hati kalian ‘Al-Wahn.’ Maka ada yang bertanya,
“Apakah Al-Wahn itu wahai Rasululloh?” beliau menjawab, “Cinta dunia dan
benci mati.” (HR. Abû Dâwud) dalam riwayat Ahmad disebutkan : “Kecintaan
kalian kepada dunia dan kebencian kalian kepada perang.”
Jenis
penghalang kedua yang merupakan kekeliruan-kekeliruan dalamimencari ilmu, di antaranya
adalah : Ketika seorang penuntut ilmu menyibukkan diri dengan banyak
mengumpulkan dan menghafal berbagai persoalan serta berlebihan dalam hal itu
sampai-sampai memalingkan dirinya dari bersegera dalam ketaatan dan
perbuatan-perbuatan yang mendekatkan diri kepada Alloh. Juga ketika ia banyak
melakukan banyak sekali cabang keimanan yang itu justru menjadi penyebab
melemahnya iman dia serta sakitnya hatinya. Imân Ibnu `l-Qoyyim ketika
menafsirkan firman Alloh ta‘âlâ:
{ ألهاكم التكاثر }
berkata: “At-Takâtsur
adalah bentuk tafâ‘ul dari Al-Katsroh, artinya : Kalian saling
berbanyak-banyakan satu sama lain. Dan di sini tidak disebutkan orang yang
melakukan Takâtsur dengan maksud
kemutlakan dan keumumannya, dan bahwa apa saja yang dijadikan bahan
berbanyak-banyakan oleh seorang hamba terhadap orang lain selain ketaatan
kepada Alloh dan rosul-Nya atau manfaat yang kembali kepada dirinya sendiri
di akhiratnya, berarti itu masuk ke
dalam Takâtsur ini. Jadi, At-Takâtsur itu terjadi dalam segala
hal, baik harta, kedudukan atau kepemimpinan, atau wanita atau kata-kata atau
ilmu ~terlebih yang tidak ia perlukan~, Takâtsur dalam hal buku,
karangan-karangan, memperbanyak permasalahan, mencabangkan serta membuat
hal-hal baru dari sana.” Selesai
perkataan beliau rohimahullôh.
Kesalahan
lain dalam hal mencari ilmu adalah ketika seorang penuntut ilmu menjadikan
sebuah methode dan cara untuk dirinya sendiri dalam mencapai ilmu, dengan
menghabiskan masa bertahun-tahun yang berkala, lantas ia tidak tertarik
sedikitpun untuk keluar berjihad yang hukumnya wajib dengan dalih menyelesaikan
studi. Hingga akhirnya ketika tahun-tahun itu selesai ia lewati, mulai banyak
memiliki anak, penghalang semakin bertambah, semakin terasa beratlah bagi jiwa
untuk keluar berjihad, lantas ia condong kepada dunia dan meninggalkan jihad.
Kesalahan
lain dalam mencari ilmu adalah ketika seorang penuntut ilmu menjadikan tujuan
satu-satunya dari studi yang dia lakukan berupa kemampuan menulis buku-buku
yang sebenarnya ia tidak perlu tulis, kebenaran sudah di jelaskan di dalamnya
oleh ahlu `l-‘ilmi yang lebih tahu daripada dirinya. Lalu ia menghabiskan waktu
bertahun-tahun lamanya dalam rangka menulis buku-buku serta hal itu
menjadikannya sibuk dari mengurusi jihad di jalan Alloh baik dengan nyawa,
harta maupun lisan. Manhaj inilah yang membedakan antara salaful Ummah dari
sebagian generasi terakhir. Sesungguhnya para salaf itu tidak dikenal banyak
memiliki karangan-karangan serta mengkonsentrasikan diri di dalamnya dengan
kemudian meninggalkan jihad yang wajib, tetapi mereka menggabung sekaligus antara
dakwah, menyampaikan ilmu dan jihad di jalan Alloh serta menegakkan agama Alloh
di muka bumi.
Di antara kekeliruan dalam mencari ilmu adalah ketika
seorang penuntut ilmu tertarik untuk menuntut ilmu lantaran dalam ilmu dan amal
dari ilmu tersebut terdapat kedudukan orang-orang yang shiddîq (jujur
keimanannya); ini memang benar, tetapi yang keliru adalah ketika seorang
thôlibul ilmi lupa bahwa derajat shiddîq itu tidak akan dicapai oleh
orang yang duduk dari jihad yang hukumnya wajib, sebab duduk dari jihad itu
termasuk indikasi lemahnya kejujuran, sementara dengan jihad akan terpilahlah
antara orang yang jujur dan yang dusta imannya, Alloh Tabâroka wa Ta’âlâ
berfirman :
{
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ
الصَّادِقُونَ(15) الحجرات
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman
hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka
tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan
Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurôt
: 15)
Adapun
kesalahan ketiga adalah terjadi pada para murobbi: di antaranya
adalah mereka meninggalkan aktifitas tahrîdh (membakar semangat)
dan memotivasi para penuntut ilmu dan kaum muslimin secara umum untuk berjihad,
padahal Alloh Tabâroka wa Ta‘âlâ telah berfirman:
{ فَقَاتِلْ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ
عَسَى اللَّهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَاللَّهُ أَشَدُّ بَأْسًا
وَأَشَدُّ تَنْكِيلًا(84) النساء
“Maka
berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan
kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mu'min (untuk berperang).
Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat
besar kekuatan dan amat keras siksaan (Nya).” (QS.
An-Nisâ’: 84)
Di antara kesalahan para murobbi yang lain adalah
ketika seorang da‘i murobbi menanamkan dalam diri para penuntut ilmu bahwa
mengikuti Salaful Ummah adalah cukup dengan belajar dan menghafal akidah para
salaf saja tanpa menjalani manhaj mereka serta mengikuti perilaku dan jihad
mereka. Mungkin saja engkau mendapati seorang lelaki yang mengaku sebagai
pengikut salaf serta mengajak kepada manhaj mereka, sementara dirinya sendiri
dalam hal perilaku, kecenderungannya kepada dunia dan menutupi kebenaran adalah
orang yang paling mirip dengan ulama yahudi yang dimurkai.
Di antara kesalahan lain dari para murobbi adalah
ketika seorang dai membuat sebuah methode dalam membela islam tanpa ada unsur
kekuatan di sana. Dan ini adalah methode yang tidak keluar dari batas-batas
yang diizinkan oleh para penguasa yang diperalat. Lalu ia terus bertahan di
atas jalan yang jauh dari Jihad fi sabilillâh, di mana jihad adalah
satu-satunya jalan dalam menghadapi musibah dan perang salib ini. Maka jalan yang ia pilih sendiri untuk
dirinya yang kosong dari nilai jihad ini, ia tidak akan bergeming darinya serta
keadaanpun tidak akan berubah; dari damai kepada peperangan, dari rasa aman
kepada ketakutan dan perlawanan serta peperangan. Tak cukup di situ, ia
kemudian menarik ummat kepada pendapat kelirunya tadi yang mana ia tidak
bergeser darinya meskipun keadaan telah berubah. Ia telah mengeluarkan diri dan
para pengikutnya dari peperangan dan perlawanan dengan lantas mencukupkan diri
mengikuti informasi medan perang dari kejauhan, ia ridho dirinya termasuk
seperti yang difirmankan Alloh ta‘âlâ :
{
وَإِنْ يَأْتِ الْأَحْزَابُ يَوَدُّوا لَوْ أَنَّهُمْ بَادُونَ فِي الْأَعْرَابِ
يَسْأَلُونَ عَنْ أَنْبَائِكُمْ (20) الأحزاب
“...dan jika golongan-golongan yang bersekutu itu
datang kembali, niscaya mereka ingin berada di dusun-dusun bersama-sama orang
Arab Badwi, sambil menanya-nanyakan tentang berita-beritamu.” (QS. Al-Ahzâb
: 20)
Kekeliruan para da’i dan murobbi yang lain adalah
duduknya mereka dari berjihad dan lebih memilih sejalan dengan orang-orang nashrani dan orang-orang murtad
dalam kata-kata dan istilah-istilah yang mereka keluarkan, seperti istilah
kebebasan dan demokrasi atau yang lain. Akhirnya mereka lebih condong kepada
apa yang dibawa oleh para pembawa kebatilan dan kafir berupa kata penuh hiasan,
di mana orang yang tidak beriman kepada akhirat akan tertipu dan terseret di
belakangnya, berbuat maksiat dan berbagai dosa disebabkan condongnya mereka
kepada kata-kata tadi serta begitu perhatiannya mereka terhadap orang yang
mengatakan; di mana mereka menghiasi kata-katanya dengan ungkapan-ungkapan kata
yang indah serta lafadz yang penuh hiasan melalui media informasi dan
satelit-satelit angkasa yang mereka miliki. Alloh ta’âlâ telah terangkan bahwa
mereka yang menghias kata-kata untuk menipu manusia dengannya dalam rangka
memalingkan mereka dari Islam, mereka adalah syetan berupa manusia dan jin yang
merupakan musuh para rosul. Sebagaimana firman Alloh ta‘âlâ :
{
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ
يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ
مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ(112) الأنعام
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka
membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah
untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak
mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-’An‘âm : 112)
Dengan demikian, bagaimana seorang thôlibul ilmu rela
dirinya menipu manusia dengan taktik dan kata-kata mereka yang penuh hiasan,
ikut bergabung dalam saluran dan media-media informasi mereka; bukan untuk
menyuarakan kebenaran apa adanya, tetapi justru untuk mencampur adukkan yang
haq dan yang bathil serta sepakat dengan mereka dalam sebagian ungkapan dan
kata-kata mereka. Di antara kata-kata ini adalah istilah ‘kebebasan’ yang dalam
kamus orang nahsrani, sekuler dan orang-orang murtad maknanya adalah : membuang
muka dari semua bentuk konsistensi terhadap agama. Artinya, menentang semua
prinsip ketaatan kepada Alloh dan rosul-Nya shollallôhu ‘alaihi wa sallam,
serta bersikap keras kepala untuk beribadah kepada Alloh. Inilah sebenarnya
bentuk kebebasan syetan manusia dari Amerika serta orang-orang yang mengikuti
sistem demokrasi dan libelar mereka. Padahal sebenarnya mereka bukanlah
orang-orng yang merdeka, tetapi mereka tertawan di tangan-tangan syetan jin
serta menjadi bala tentara mereka yang diarahkan untuk memerangi Alloh dan
rosul-Nya shollallôhu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana firman Alloh
ta‘âlâ :
{
أَلَمْ تَرَ أَنَّا أَرْسَلْنَا الشَّيَاطِينَ عَلَى الْكَافِرِينَ تَؤُزُّهُمْ
أَزًّا(83)}
“
Tidakkah kamu lihat, bahwasanya Kami telah mengirim
syaitan-syaitan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasung mereka berbuat
ma`siat dengan sungguh-sungguh?” (QS. Maryam : 83)
Alloh ta’âlâ juga berfirman :
{
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ
قَرِينٌ(36)}
“Barangsiapa
yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur'an), Kami adakan
baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang
selalu menyertainya.” (QS. Az-Zukhruf : 36)
Di samping
itu, mereka yang bersikap keras kepala dari beribadah kepada Alloh juga
terperangkap dalam peribadatan kepada hawa nafsu mereka dan ke dalam peribadatan
kepada syetan serta manusia yang membuat perundangan pengatur mereka, budak
dari undang-undang produk manusia dan thoghut-thoghut lainnya yang mereka
berkubang dalam peribadatan kepada hal yang sama. Yang perlu dicatat, bahwa
seorang hamba tidak akan bebas dari peribadatan kepada thoghut kecuali dengan
mentauhidkan Alloh serta mengikhlaskan
agama untuk-Nya semata. Sebab islam datang membawa ‘ubûdiyyah (ibadah);
bukan kebebasan cara barat, karena ibadah adalah tujuan utama Alloh
mencipatakan para hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya :
{ وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ(56)}
“Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS.
Adz-Dzâriyât: 56)
Jadi, Alloh
menciptakan hamba-hamba-Nya hanya untuk beribadah kepada-Nya saja; tanpa ada
sekutu bagi-Nya. Nah, jika seorang pengemban ilmu di dalam berdakwah dan
bertukar pikiran dengan orang-orang munafik dan murtad berpijak dari ayat ini
dengan tujuan mendapatkan keridhoan Alloh ta‘âlâ, niscaya ia tidak akan sesat
dalam perkataan, dakwah dan manhaj yang ia tempuh. Lain halnya kalau ia
melalaikan tujuan utama penciptaan seluruh makhluk dengan mencoba mencari
keridhoan orang-orang yang membaca dan menyaksikan ilmunya dari kalangan
orang-orang nashrani, sekuler atau orang-orang munafik, maka tidak diragukan
lagi ia pasti akan sesat dan memasukkan dalam din Alloh sesuatu yang bukan
bagian darinya, berupa istilah-istilah orang-orang nashrani yang penuh hiasan;
seperti istilah kebebasan, demokrasi dan hak asasi manusia maupun istilah
lainnya. Maka yang wajib dilakukan oleh para ulama adalah bergabung dengan
saudara-saudara mereka para mujahidin dan menolong mereka, sebagai ganti dari
sikap toleransi (mudâhanah) dan manis muka serta kedekatan mereka kepada
musuh-musuh Alloh dari kalangan orang-orang kafir dan munafik dengan malah
mencela dan mencaci para mujahidin. Sebab pengemban ilmu itu bila bermudâhanah
kepada musuh-musuh Alloh dengan menjauhi para mujahidin dan orang-orang sholeh,
berarti ia telah memecah belah manusia yang berada di sekitarnya, berarti pula
ia telah kehilangan jalan kekuatan dan kemuliaan (‘izzah) serta jihad. Dengan
demikian, ia telah merugi dalam dakwahnya, melemahkan kekuatannya sekaligus
menghinakan dirinya sendiri di hadapan orang-orang kafir dan para penguasa yang
menjadi antek mereka. Alhasil, ia jadi terkatung-katung; ia tidak berada di
barisan kaum mujahidin berjihad bersama mereka, tidak pula bersama para
penguasa yang diperalat tadi yang ia sendiri sebenarnya tidak setuju dengannya
dalam semua yang ia serukan. Jika seorang pencari ilmu sampai pada kondisi
kalah dan lemah seperti ini, saat itu tidak menjadi persoalan lagi bagi kaum
kafir dan munafik untuk menerima mereka di media-media informasi yang mereka
milik setelah sebelumnya menampakkan sedikit kompromi. Padahal,
Alloh ta‘âlâ berfirman :
{
وَإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ
عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لَاتَّخَذُوكَ خَلِيلًا(73)وَلَوْلَا أَنْ
ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا (74) إِذًا
لَأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ
عَلَيْنَا نَصِيرًا
(75)}
“Dan
sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau
sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau
Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit
kepada mereka, kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan
kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan)
berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun
terhadap Kami.” (QS. Al-Isrô’: 75)
Alloh ta‘âlâ juga berfirman :
{
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ
تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ
ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ(49)أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ(50)}
“dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum
Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Mâ’idah : 49-50)
Keteguhan
seorang alim di atas kebenaran dan jihad yang ia lakukan itu sudah cukup
mewakili bagi ummat ini, meskipun ia dipenjara atau jalan dakwah di hadapannya
di halangi serta ditahan dirumahnya. Sebab kalimat kebenaran itu akan keluar
darinya, atau paling tidak sekedar kisah dan penyucian jiwa yang akan
memberikan nasehat kepada umat serta membakar semangat mereka untuk berjihad,
itu cukup untuk menjadikan ummat menyambut dia dan berkumpul di sekelilingnya.
Adapun, jika ia tidak teguh dan terang-terangan dalam kebenaran serta berjihad
di jalan Alloh, kemudian ia bermudâhanah dengan musuh-musuh Alloh, sama
artinya ia telah merugi dalam dakwah yang ia lakukan. Dalam kondisi seperti
ini, tidak tak ada gunanya bagi dia banyaknya berbagai sarana dakwah dan
informasi setelah ummat kehilangan kepercayaan kepada dirinya. Maka, yang
menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu, juga bagi para pemuda maupun kaum
lelaki yang mampu selain mereka adalah keluar berperang untuk menolong
saudara-saudara mereka di bumi jihad hingga terpenuhi jumlah yang cukup dari
kalangan ulama dan mujahidin. Demikian juga, wajib atas kaum muslimin berjihad
di jalan Alloh ta’âlâ dengan harta mereka serta menolong saudara-saudara
mereka. Dan mereka tidak usah menggubris tekanan dari musuh-musuh Alloh dari
kelompok orang-orang Nashrani dan Yahudi serta antek-antek mereka di negeri di
mana mereka berusaha menghalangi jihad dengan harta.
Kami juga memberikan wasiat kepada saudara-saudara
mujahidin di Iraq agar menyatukan barisan mereka di bawah satu komando. Dan di
samping mereka memiliki kekuatan militer, sebaiknya mereka juga memiliki
kekuatan di bidang politik dan tekhnologi informasi untuk bisa berkomunikasi
dengan kaum muslimin mengenai tujuan ini. Adapun mencukupkan diri pada sisi
militer tanpa ada di sana bidang politik, itu tidak menutup kemungkinan akan
berdampak kepada komando-komando sekulerisme yang murtad memanfaatkan jihad ini
serta menguasai hukum di Iraq.
Kita memohon kepada Alloh tabâroka wa ta‘âlâ agar Ia
menolong para mujahidin di setiap tempat, semoga sholawat dan salam
terlimpahkan selalu kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para shahabat
seluruhnya.
Syaikh Abû ‘Umar
As-Saif
(Mufti Mujahidin
Cechnya)
Tanggal 29 Ramadhan
1424 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar